Ilmu Falak dalam Peradaban Islam


300 tahun setelah wafatnya nabi Muhammad SAW, umat islam mulai merambah ke puncak dunia dengan menguasai berbagai macam disiplin ilmu. Hal ini diakibatkan karena sangat besarnya perhatian para khalifah yang berkuasa mengenai keberlangsungan ilmu pengetahuan di lingkungan umat islam.

Akhirnya dibangunlah pusat – pusat kajian ke ilmuan islam, ilmu umum, hingga pusat penerjamahan teks – teks pembelajaran Yunani, India, hingga Persia ke bahasa Arab. Tak hanya itu, para khalifah utamanya di zaman kepemimpinan Harun Ar – Rasyid dibangunlah sebuah perpustakaan yang sangat besar dan lengkap yang mungkin akan lebih besar dari pada perpustakaan Kongress di abad ini.

Namanya adalah bait al hikmah. Di sana, menjadi pusat pembelajaran serta penelitian umat islam terdahulu. Sehingga tak jarang banyak ilmuan – ilmuan muslim yang lahir dari tempat itu. Tidak hanya disiplin ilmu agama saja yang dipelajari, melainkan dari seluruh disiplin ilmu. Mulai dari kedokteran, sains, sosial, hingga ilmu perbintangan, nujum, atau lebih dikenal dengan nama ilmu falak.

Mengenai perkembangan ilmu falak sendiri, berawal dari seorang pengembara India yang menyerahkan sebuah buku astronomis yang berjudul Shindid kepada kerajaan islam di Baghdad pada tahun 773 M. Oleh khalifah Abu Ja’far al – Manshur, diperintahlah agar buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa arab. Dan momen ini menjadikan si penerjemah yang bernama Ibrahim Al – Fazari menjadi ahli falak pertama dalam islam.

Menyusul setelahnya pada abad ke 8, muncul lagi ilmuan muslim lainnya yang bernama Abu Ja’far Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi yang menjadi ketua observatorium al-makmun. Berkat mempelajari teks terjemahan dari pendahulunya, akhirnya ia berhasil merubah varian penomoran india hingga menjadi bentuk arab yang kita kenal hingga sekarang. Melalui proses itu, ia pun akhirnya menemukan bilangan nol.

Ia jugalah yang pertama kali menyusun daftar logaritma yang bisa kita temui hinga sekarang. Di samping itu, Al – Khawarizmi juga menemukan bahwa ekliptika dari bumi itu miring sebesar 23,5 derajat yang mana sains modern setuju dengan hal itu. Perkembangan ilmu falak dalam peradaban islam kembali berkembang sangat pesat di tangan penerusnya, yaitu Abu Ma’syar.

Dari tangannya, telah ditemukan adanya fenomena pasang surut air laut akibat gaya gravitasi bulan. Sementara temannya yang bernama Ibnu Jabar Al – Battani juga telah melakukan terobosan dalam ilmu perbintangan. Ia telah membuktikan adanya gerhana, garis edar, serta jalan atau lintasan bintang. Hebatnya, Al – Battani juga telah mengadakan perbaikan terhadap buku karangan Ptolomeus yaitu Syntasis mengenai garis edar yang sebenarnya.

Di akhir perkembangannya, muncul lah ahli astronomis muslim yang bernaa Abdur Rahman Al – Biruni yang telah berhasil menemukan perputaran bumi pada sumbunya dengan membuat daftar lintang dan bujur tempat di permukaan bumi. Mengingat perkembangan awal dari ilmu astronomi hingga falak berada di lingkungan islam, maka banyak istilah – istilah yang kita temui berbahasa arab.

Walaupun ilmu perbintangan di masa keemasan islam sudah dalam taraf kategori maju, namun belum ada yang mampu mematahkan teori geosentris nya ptolomeus. Karena selama peradaban islam, seluruh ilmuan muslim sepakat bahwa pusat tata surya adalah bumi. Namun, setelah datanganya masa renaissance dari Eropa, akhirnya teori tersebut terpatahkan dan membuat gereja kebakaran jenggot.

Related Posts :

0 Response to "Ilmu Falak dalam Peradaban Islam"

Posting Komentar